It's Too Late |
'Kring... Kring... You got a call!'
Ersya melirik layar handphone-nya malas.
Elena
Ia mendengus. "Mau apa lagi anak itu?" gumamnya. Kesal.
Masalah sepele. Bagi Ersya, Elena berusaha menarik perhatian kakak kelas yang ia sukai, Arya, sehingga Arya me'nembak' Elena. Meskipun Elena menolak Arya.
'...You got a call!'
Elena lagi, batin Ersya malas. Ia segera mengambil langkah ke tempat tidur.
***
Pagi ini terasa sangat aneh, batin Ersya. Kenapa langitnya begitu gelap?
Ersya bangkit dari tempat tidurnya. Ia terlampau emosional kemarin.
Ersya bangkit dari tempat tidurnya. Ia terlampau emosional kemarin.
Matanya terantuk pada fotonya, adiknya, ibunya beserta ayahnya. Ayah... Mengingat ayahnya yang ada di rumah sakit, matanya membasah.
"Ersya..."
"Iya bunda... Bunda? Kenapa..?"
"Ayah... Ayah..."
"Ada apa...?"
"Ayah.... Sudah... Meninggal..."
Ersya membeku. "Ayah..." Tubuh Ersya merosot. Pantas hari ini begitu kelabu....
"Ayah.... Sudah... Meninggal..."
Ersya membeku. "Ayah..." Tubuh Ersya merosot. Pantas hari ini begitu kelabu....
"Maaf Ers... Ayah... Ayah memang... Sudah pergi..."
Tangis Ersya pecah. Menangis, bersama sang Bunda.
Bunda ersya mengusap air matanya. "Sudahlah nak," Beliau mengusap air mata Ersya. "Sekaarng kita harus ke rumah sakit. Adikmu... Masih tidur?"
Ersya mengangguk, matanya masih basah.
***
"Ersya... Aku... Aku turut berduka--"
"Diam. Gue lagi gak mau ngomong sama lo." potong Ersya tajam. Eena, sang lawan bicara, terdiam.
"Baiklah..." Elena berjalan mendekati bunda Ersya.
Bunda Ersya nampak sangat amat sedih. Penampilannya tidak begitu baik, wajahnya juga nampak pucat. Elena merasa bersalah tidak bisa membantu mengihiburnya.
"Tante..."
Bunda Ersya menoleh. "Ah, Elena... Ada apa?"
"A-aku turut berduka cita tante..."
"Terimakasih, Elena," ucap Bunda Ersya. Mereka terdiam sejenak.
"Elena... Boleh kamu menghibur Ersya?"
Elena menatap ibu Ersya. Matany amemancarkan harapan.
"Tante... Maaf... Aku... Harus pergi..."
"K-kemana?"
"Ke Amerika. Aku titip ini buat Ersya, tante," Elena menyelipkan sesuatu di tangan bunda Ersya.
"Aku harus pergi sekarang, tante,"
"Aku harus pergi sekarang, tante,"
"Hati-hati di jalan,"
Elena menjauh. Hidup ini memang tidak abadi... batinnya. Demikian juga hidupku.
Langkah Elena terhenti. Ia berbalik.
Rumah duka itu sangat ramai. Suatu pikiran melesat di kepalanya. Jika saat ini tiba --kematiannya-- akankah ia begitu dipedulikan seperti ayah Ersya?
Elena kembali berbalik dan melanjutkan berjalan. Beberapa langkah ia jalani, tiba-tiba, dadanya terasa sakit. Sedikit lagi sampai mobil, batinnya. Tapi satu langkah lagi itu tak tercapai. Semua gelap.
"Non Elena!"
***
Ersya mengusap air matanya. Pikirannya masih melayang ke saat keluarganya masih lengkap...
Ia mengacak rambutnya frustasi. Matanya --dengan tidak sengaja- menemukan sebuah amplop.
Untuk Sahabatku: Ersya
Ersya mengernyit. Matanya masih sembap. Ia membuka amplop itu.
Sebuah surat. Dan... Kancing?
Dibukanya surat itu. Matanya membasah.
Dear Ersya...
Hai, Ers. Aku tidak mengerti dari mana aku harus memulai surat inhi.
Ini Elena. Aku hanya ingin melurusakn masalah kita.
Kak Arya memang menembakku, tapi aku tidak, sama sekali tidak menyukainya!Aku tidak mencari perhatiannya, aku sudah punya orang yang kusuka.
Oke, entah akenapa kau memakai aku-kamu dan bukan lo-gue. Mungkin karena aku-kamu terdengar lebih manis di telingaku?
Aku harap kamu memaafkanku, Ers.
Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu.
Hari ini aku berangkat ke Amerika. Yah, aku takkan mengganggumu lagi.
Aku minta maaf. ErsElenEver.
Sahabatmu,
Elena.
Ps: Kalau kau mau, ini nomorku disana. +112345xxx
Ersya merasa menyesal. Kenapa baru sekarang ia membuka surat itu? Dua hari setelah kematian ayahnya-- kepergian Elena.
Ia segera menelepon nomor yang tertulis di surat itu.
"Halo?"
"E-Ersya?"
"Tante?" Ini suara ibu Elena, ia kenal persis.
"Ersya..." Ibu Elena terisak. "Elena... Elena-- dia sudah meninggal..."
Semua gelap.
***
Tak mengerti, Ersya tak mengerti sudah berapa lama ia pingsan. Yang jelas, begitu terbangun, ia menemukan dirinya ada di lantai.
Matanya terbuka. Ia segera teringat apa yang menyebabkan ia pingsan. Ia berharap semua hanya mimpi... Tapi... Surat itu nyata.
Diceknya ponsel.
Sial, pulsanya habis!
Ekor mata Ersya menangkap selembar kertas lagi dari amplop tadi.
Oh ya Ers,
Kancing itu -- Kamu tahu kan, dua kancing yang terikat benang ituu-- adalah lambang persahabatan kita.
Kancing adalah hati kita. Hati kita terkait benang-- benang persahabatan.
Apapun yang terjadi, kita tetap sahabat, Ersya.
ErsElenEver!
PS. Simpan ya kancing itu, Sya. Ehehe, aku membuatnya dengan penuhhh kebingungan. Kamu tahu kan aku tidak sepintar kamu dalam menjahit.
Thanks semua, Ersya!
*It's Too Late*
THE END
Note:
Cerpen ini berkaitan dengan cerita Before It's Too Late. Bisa dibilang prekuelnya, tapi bisa juga dibaca sendiri.
Terimakasih kunjungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari... ^_^