Sang Diva |
Hari ini, aku berdiri
disini bersama diam, sepi, dan dingin.
Kemana kehangatan?
Dimana kedamaian?
Oh ya, hai, aku
Sesillia Verista.Mungkin kalian telah mengenalku, tapi sekarang kalian tak
mungkin mengenaliku lagi. Aku telah berbeda, jauh berbeda.Bukan pribadi Verista
penyuka warna silver yang bertunangan dengan Rafael Arvito yang amat baik,
bukan si kembang SMA tukang ngelamun yang bersahabat dengan Adynda Mutiarani.
Bukan. Sekali lagi kutegaskan, BUKAN.
Sekarang aku menjelma
sebagai seorang pemenang audisi model SANG DIVA yang cantik, elegan, sempurna,
tapi kesepian. Ck, ini menyedihkan.
Rafa kesal denganku,
aku terlalu mementingkan pekerjaan dan terkesan mengabaikannya. Puncaknya, kami
perang mulut dan akhirnya selama dua minggu terakhir kami perang dingin.
Eoh.
Dynda telah kuabaikan
jauh lebih parah.
Mengapa?
Maaf, aku sedang tak
ingin menceritakannya.
Kupandangi gemerlapan
lampu dibawahku, dari ketinggian kesepuluh apartemen milikku.
Aku belum cerita ya,
aku telah lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga dengan
peringkat cum laude. Sempurna? Ya,
seandainya…
Cukup, aku tak mau
memikirkannya lagi.
Kembali kutatapi
gemerlapan cahaya malam perkotaan, dari apartemen pribadiku ini. Kebetulan,
jadwalku sepi dan aku pun keSEPIan.
Sungguh, aku menyesal
mengikuti audisi itu. Karenanya, aku kesepian.
Jadwalku padat, tapi
relung hati dan jiwaku kosong pun hampa.
Sejak mengikuti audisi
model itu, aku menjadi seorang model papan atas. Pantas saja jadwalku sibuk.
“Ting tong,”
Aku menegang. Siapa? Pikirku.
Kubangkit dari dudukku. Berjalan ke arah pintu, memegang
gagangnya, dan membukanya…
Rafa.
Ia langsung masuk dan
duduk di sofa ruang tamu.
“Gue mau ngomong,”
Perlahan, aku
menengang. “Ya.”
“Dan gue ga pengen ini
berakhir dengan perang mulut.”
“Ya.” Mulutku tak
dapat mengeluarkan kata lain.
“Gue piker, kita perlu
nenangin diri dulu.”
“Ya.”
“Jadi kita perlu rehat
sementara dari hubungn kita.”
“Ya.”Tapi kemudian aku
tersadar dan tergeragap. “Kenapa?”
“Lo perlu intropeksi
diri.” Ucapnya seraya tersenyum agak pahit. “Yah, oke. Bye. Sampe ketemu
setelah lo nyadar apa salah lo.”
“Ya.”
Setelah dia keluar
dari apartemen pribadiku, aku baru tersadar bahwa aku melakukan suatu kesalahan
bodoh yang besar.Kenapa aku selalu bilang ‘ya’?
To Be Continued
NOTE:
Hai semua. Kami membawa sebuah kisah. Sekuel dari cerpen pertama yang dipost disini.
Oke, sampai disini dulu sekuel Silveristanya. Lain kali dilanjutkan. Komentar, seperti biasa, diharapkan. Thanks.
Hai semua. Kami membawa sebuah kisah. Sekuel dari cerpen pertama yang dipost disini.
Oke, sampai disini dulu sekuel Silveristanya. Lain kali dilanjutkan. Komentar, seperti biasa, diharapkan. Thanks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari... ^_^