Pindah ke kcrda.blogspot.com | Selamat datang di blog ini. Semoga berguna ^^ Kami tunggu apresiasinya :)

Kamis, 21 Maret 2013

My Little Brother

Karya R
My Little Brother

Kupersembahkan kisah ini untuk adikku tersayang

“Apa?!”

Lidahku benar-benar kelu. Tak ada yang dapat kuucapkan selain satu kata itu. Jika aku pengidap jantung lemah, pastilah aku sudah mati. Untungnya aku bukan.

Kukumpulkan segala energi. Berusaha berbicara.

“Kecelakaan?”

“…”

“I-iya ma! Aku ke s-sana!”

Aku menelan ludah. Kenapa itu bisa terjadi?

***

“Permisi, suster. Ruang UGD dimana ya?” tanyaku terengah.

Perempuan dalam balutan seragam putih itu tersenyum kecil melihatku sebelum  menjawab, “Lurus, lalu kiri.”

“Makasih suster,” aku langsung berlari.

Hah, hah. Aku mengatur napas. “Bunda!”

“Ah, Lysta! M-maaf bunda lupa suruh mang Ujang jemput k-kamu,” bundaku sedikit terisak.

“Ngga apa-apa ma! Gimana Fael?”

“Hmmm,” Bundaku mengeluarkan napas agar bebannya berkurang sedikit. Ayahku mengelus punggungnya. “Masih diperiksa,”

Aku hanya dapat duduk di samping ibuku dan merenung dalam diam. Membayangkan wajah imut adikku… Hatiku hanya terus berdoa.

***

Sudah sepuluh menit aku duduk disini. Dokter mana sih? Uh! Umpatku dalam hati.

Tepat saat itu dokter keluar.

“Dengan keluarga Ananda Rafael Erol* Fulvian?

*)erol=gagah berani dalam bahasa turki

“Saya ibunya! Ibuku langsung menghadap dokter. Aku mengikutinya.

“Ia selamat. Hanya…” ucap dokter ragu.

“Hanya apa dok?” desakku.

“Ingatannya sekarang hanya sampai usia enam tahun. Ia tidak dapat mengingat orang yang baru dikenalnya satu tahun ini. Em… Tulang kakinya patah sehingga harus menggunakan kursi roda dan digips.”

“Apakah ia sudah sadar dok? Boleh dijenguk?”

“Ia belum sadar, tapi sudah boleh dijenguk.”

“Terimakasih dok!”

“Ayo Lys,” ajak bunda dan ayahku. Kami memasuki ruangan.

Ah iya, namaku Angela Callysta Griselda. Menurut ibuku, aku cantik seperti namaku, Callysta. Bukan narsis.

Back to problem.

“Fael,” gumamku ketika melihat adikku tersayang terbaring di atas ranjang pasien. Aku menggenggam jemarinnya hati-hati. “Ah!” aku tersentak merasakan jari-jarinya bergerak. Fael… sadar.

“Fael!” bundaku histeris.

“Halo bun… yah… kak… Aku kenapa? Kok kakiku sakit sih?”

“Jangan digerakin, Fa!” larangku.

“Kenapa aku, kak?”

“Apa kamu inget kamu umur berapa sekarang?” teku.

“Em… enam. Iya kan?”

Akh! Aku terkulai lemas. Benar, ingatannya setahun ini lenyap.

“Fael…” bunda menjelaskan dengan lembut tentang kecelakaan dan kondisinya.

“Iya?!” wajah terkejut itu membuatku makin terkulai.

***

“Jadi aku kayak amnesia gitu ya kak?"

Astaga.

Ini sebulan setelah Fael dirawat, dan sekarang ia boleh pulang. Seminggu yang lalu seorang temannya yang baru dikenal di kelas 2 menjenguk. Miris, Fael bilang, “Kamu siapa?”

Aku tersenyum pahit. “Iya…”

“Oh. Berarti aku kelas 2?”

“Hm,” aku mengangguk.

“Kalo amnesia, aku lupa semua pelajaran kelas 2 dong! Ajarin aku lagi dong kak!”

Aku menatap Fael yang duduk di kursi roda. “Kamu… amu belajar? Kamu baru keluar dari RS!”

“Gapapa deh kak… Aku mau nginget semuanya lagi…”

Aku meyakinkan diri dengan bertanya lagi. “Kamu serius?”

“Iya!” angguknya semangat.

“Mulai kapan?”

“Sekarang!”

Aku tersentak kaget. Benar-benar gagah berani seperti namanya, Erol.

Sampailah di depan kamar Fael. Aku membuka pintu dari kayu jati perlahan, lalu mendorong kursi rodanya sampai depan meja belajar.

“Ini bukuku ya?” celetuknya. Aku tersenyum memandang buku matematika itu.

“Iya. Ini buku tugasnya.”

Ia membuka buku itu. ”Tulisanku… Berarti aku bener-bener amnesia…”

Miris rasanya mendengar itu. Hatiku serasa diiris pisau, diusap jeruk nipis lalu ditaburi garam. Sakiitt.

“Oke. Sekarang kamu tidur dulu. Abis itu baru kakak ajarin ya!”

“Sekarang aja!”

“Istirahat dulu. Nanti aku dimarahin bunda, de!”

“Yaudah,” ucapnya. Aku tersenyum. Mendorong kursi roda mendekati kasur yang berseprai dandan terlapis selimut bergambar kartun.

“Ayo,” aku memapahnya. “Tidur ya Fa,”

“Kak, tetep disini,”

“Kenapa?”

“Kak…” Ia memelas. Aku luluh.

“Oke, deh”

“Ye!”

“Tapi kakak mau ambil buku dulu ya. Ada PR.“

“Cepet kak,”

Aku melangkah keluar dari kamar Fael. Aku memasuki kamar dan mencari buku.

*

Fael POV (Sudut Pandang Fael)

Mana kakak? Lama sekali.

Ah, kakak baik sekali mau menemaniku. Entah kenapa, aku takut sendirian. Rasanya ada sesuatu gelap menutupi sebagian otakku.

Kakak! Ah! Aku takut! Untung kakak sudah kembali.

*

Lysta POV

“Hei, Fael! Jangan ngelamun! Tidur!”

Ia menurut. Aku mengelus rambutnya dan mulai membuka bukuku. Sekelompok rumus fisika menyerbuku.

***

Demikian, akhirnya tiap pulang sekolah aku memberikan les untuk Fael. Suatu saat, Fael berkata pada kami, ia ingin kembali sekolah. Ayah-bunda kaget tentu, tapi mereka membolehkan. AKu disuruh menjaga Fael di sekolah.

Aku mendorong kursi roda Fael ke kelasnya.

“Udah ya Fael,”

“Disini aja kak,”

Aku terpaksa menungguinya hingga masuk, sebab di kelas itu tak ada yang Fael kenal.

Untung, saat bel berbunyi, seorang sahabat Fael dari kelas satu masuk. Fael mengenalnya.

“Gavin, titip Fael ya,” ucapku, lalu beralih ke guru. “Makasih bu Sita, titip Fael ya bu,”

 Bu Sita mengiyakan.

***

Aku berlari ke kelas. Oh no, Bu Vona, guru ter-killer sepanjang sejarah SD-ku.

“Permisi bu,” aku mengetuk pintu.

“Dari mana kamu?”

“Maaf bu, tadi saya…”

“Dasar pemalas! Lari keliling lapangan 5 kali!”

Meski aku tahu, aku tak salah, tapi aku menurutinya. Sebab menolak perintah guru itu sama saja meloncat ke kandang buaya.

***

Ngga bisa, kata Gavin, ia tiap hari pasti terlambat karena harus membantu ibunya dan diperbolehkan sekolah. Aku harus cari anak lain untuk menitipkan Fael.

Aha! Ide sampai kepadaku. Terimakasih Tuhan!

Aku kan mengenal salah satu sahabat Fael kelas 2-nya. Mungkin Fael sudah lupa, tapi sifat Fael yang mudah bergaul itu sangat membantu.

***

“Josua, titip Fael ya!”

“Oke kak!”

“Fael, kakak tinggal dulu ya. Oya,” Aku memandang seisi kelas Fael. “Kalian bantu jaga Fale ya. Pulang sekolah kakak kasih permen,”

“Hore!” sorak mereka. Aku tersenyum, mengacak rambut Fael, lalu melangkah keluar kelas adikku.

Aku berjalan dengan ringan. Ah, betapa segarnya udara! Matahari pun tampak sangat cantik hari ini. Bunga-bunga berseri menyapaku. Masalah selesai!

***

CITT! BRAK!

Mobil berbanting setir 90 derajat. Aw! Aku segera melindungi kepala Fael dan kepalaku dengan tangan.

Beberapa detik kemudian, mata kami yang terkatup ketakutan terbuka.

*

Fael POV

“Kak?”

“Ya?”

Ah! Rasanya sesuatu gelap itu terbuka menjadi terang!

“Aku inget semua!” ucapku girang.

*

Lysta POV

Mataku membulat sempurna, menatap mata berbinarnya. “Sungguh?”

“Ya! Ya!” jawabnya semangat.”Hore!!!”

Supir kami, Mang Ujang, menoleh ke belakang. “Aduh non, den, maap ya…”

“Gapapa mang!” potongku. “Karena mamang, Fael inget semua!” kataku riang mengacak rambut adikku, seraya mengembangkan senyum.

Senyum bahagia.

THE END
NOTE:
Halo semua! Karena lagi malas untuk mengetik lanjutan Silverista, kami memutuskan untuk mengetik cerpen non-part. Kali ini untuk anak-anak.
Terimakasih ya, sudah membaca. Harap komentar, kritik dan saran. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari... ^_^