My Little Brother |
Kupersembahkan kisah
ini untuk adikku tersayang
“Apa?!”
Lidahku
benar-benar kelu. Tak ada yang dapat kuucapkan selain satu kata itu. Jika aku
pengidap jantung lemah, pastilah aku sudah mati. Untungnya aku bukan.
“…”
“I-iya
ma! Aku ke s-sana!”
Aku
menelan ludah. Kenapa itu bisa terjadi?
***
“Permisi,
suster. Ruang UGD dimana ya?” tanyaku terengah.
Perempuan
dalam balutan seragam putih itu tersenyum kecil melihatku sebelum menjawab, “Lurus, lalu kiri.”
“Makasih
suster,” aku langsung berlari.
Hah,
hah. Aku mengatur napas. “Bunda!”
“Ah,
Lysta! M-maaf bunda lupa suruh mang Ujang jemput k-kamu,” bundaku sedikit
terisak.
“Ngga
apa-apa ma! Gimana Fael?”
“Hmmm,”
Bundaku mengeluarkan napas agar bebannya berkurang sedikit. Ayahku mengelus
punggungnya. “Masih diperiksa,”
Aku
hanya dapat duduk di samping ibuku dan merenung dalam diam. Membayangkan wajah
imut adikku… Hatiku hanya terus berdoa.
***
Sudah
sepuluh menit aku duduk disini. Dokter mana sih? Uh! Umpatku dalam hati.
Tepat
saat itu dokter keluar.
“Dengan
keluarga Ananda Rafael Erol* Fulvian?
*)erol=gagah
berani dalam bahasa turki
“Saya
ibunya! Ibuku langsung menghadap dokter. Aku mengikutinya.
“Ia
selamat. Hanya…” ucap dokter ragu.
“Hanya
apa dok?” desakku.
“Ingatannya
sekarang hanya sampai usia enam tahun. Ia tidak dapat mengingat orang yang baru
dikenalnya satu tahun ini. Em… Tulang kakinya patah sehingga harus menggunakan
kursi roda dan digips.”
“Apakah
ia sudah sadar dok? Boleh dijenguk?”
“Ia
belum sadar, tapi sudah boleh dijenguk.”
“Terimakasih
dok!”
“Ayo
Lys,” ajak bunda dan ayahku. Kami memasuki ruangan.
Ah
iya, namaku Angela Callysta Griselda. Menurut ibuku, aku cantik seperti namaku,
Callysta. Bukan narsis.
Back
to problem.
“Fael,”
gumamku ketika melihat adikku tersayang terbaring di atas ranjang pasien. Aku
menggenggam jemarinnya hati-hati. “Ah!” aku tersentak merasakan jari-jarinya
bergerak. Fael… sadar.
“Fael!”
bundaku histeris.
“Halo
bun… yah… kak… Aku kenapa? Kok kakiku sakit sih?”
“Jangan
digerakin, Fa!” larangku.
“Kenapa
aku, kak?”
“Apa
kamu inget kamu umur berapa sekarang?” teku.
“Em…
enam. Iya kan?”
Akh!
Aku terkulai lemas. Benar, ingatannya setahun ini lenyap.
“Fael…”
bunda menjelaskan dengan lembut tentang kecelakaan dan kondisinya.
“Iya?!”
wajah terkejut itu membuatku makin terkulai.
***
“Jadi
aku kayak amnesia gitu ya kak?"
Astaga.
Ini
sebulan setelah Fael dirawat, dan sekarang ia boleh pulang. Seminggu yang lalu
seorang temannya yang baru dikenal di kelas 2 menjenguk. Miris, Fael bilang, “Kamu
siapa?”
Aku
tersenyum pahit. “Iya…”
“Oh.
Berarti aku kelas 2?”
“Hm,”
aku mengangguk.
“Kalo
amnesia, aku lupa semua pelajaran kelas 2 dong! Ajarin aku lagi dong kak!”
Aku
menatap Fael yang duduk di kursi roda. “Kamu… amu belajar? Kamu baru keluar
dari RS!”
“Gapapa
deh kak… Aku mau nginget semuanya lagi…”
Aku
meyakinkan diri dengan bertanya lagi. “Kamu serius?”
“Iya!”
angguknya semangat.
“Mulai
kapan?”
“Sekarang!”
Aku
tersentak kaget. Benar-benar gagah berani seperti namanya, Erol.
Sampailah
di depan kamar Fael. Aku membuka pintu dari kayu jati perlahan, lalu mendorong
kursi rodanya sampai depan meja belajar.
“Ini
bukuku ya?”
celetuknya.
Aku tersenyum memandang buku matematika itu.
“Iya.
Ini buku tugasnya.”
Ia
membuka buku itu. ”Tulisanku… Berarti aku bener-bener amnesia…”
Miris
rasanya mendengar itu. Hatiku serasa diiris pisau, diusap jeruk nipis
lalu ditaburi garam. Sakiitt.
“Oke.
Sekarang kamu tidur dulu. Abis itu baru kakak ajarin ya!”
“Sekarang
aja!”
“Istirahat
dulu. Nanti aku dimarahin bunda, de!”
“Yaudah,”
ucapnya. Aku tersenyum. Mendorong kursi roda mendekati kasur yang berseprai
dandan terlapis selimut bergambar kartun.
“Ayo,”
aku memapahnya. “Tidur ya Fa,”
“Kak,
tetep disini,”
“Kenapa?”
“Kak…”
Ia memelas. Aku luluh.
“Oke,
deh”
“Ye!”
“Tapi
kakak mau ambil buku dulu ya. Ada PR.“
“Cepet
kak,”
Aku
melangkah keluar dari kamar Fael. Aku memasuki kamar dan mencari buku.
*
Fael
POV (Sudut Pandang Fael)
Mana
kakak? Lama sekali.
Ah,
kakak baik sekali mau menemaniku. Entah kenapa, aku takut sendirian. Rasanya
ada sesuatu gelap menutupi sebagian otakku.
Kakak!
Ah! Aku takut! Untung kakak sudah kembali.
*
Lysta
POV
“Hei,
Fael! Jangan ngelamun! Tidur!”
Ia
menurut. Aku mengelus rambutnya dan mulai membuka bukuku. Sekelompok rumus
fisika menyerbuku.
***
Demikian,
akhirnya tiap pulang sekolah aku memberikan les untuk Fael. Suatu saat, Fael
berkata pada kami, ia ingin kembali sekolah. Ayah-bunda kaget tentu, tapi
mereka membolehkan. AKu disuruh menjaga Fael di sekolah.
Aku
mendorong kursi roda Fael ke kelasnya.
“Udah
ya Fael,”
“Disini
aja kak,”
Aku
terpaksa menungguinya hingga masuk, sebab di kelas itu tak ada yang Fael kenal.
Untung,
saat bel berbunyi, seorang sahabat Fael dari kelas satu masuk. Fael
mengenalnya.
“Gavin,
titip Fael ya,” ucapku, lalu beralih ke guru. “Makasih bu Sita, titip Fael ya
bu,”
Bu Sita mengiyakan.
***
Aku
berlari ke kelas. Oh no, Bu Vona, guru ter-killer sepanjang sejarah SD-ku.
“Permisi
bu,” aku mengetuk pintu.
“Dari
mana kamu?”
“Maaf
bu, tadi saya…”
“Dasar
pemalas! Lari keliling lapangan 5 kali!”
Meski
aku tahu, aku tak salah, tapi aku menurutinya. Sebab menolak perintah guru itu
sama saja meloncat ke kandang buaya.
***
Ngga
bisa, kata Gavin, ia tiap hari pasti terlambat karena harus membantu ibunya dan
diperbolehkan sekolah. Aku harus cari anak lain untuk menitipkan Fael.
Aha!
Ide sampai kepadaku. Terimakasih Tuhan!
Aku
kan mengenal salah satu sahabat Fael kelas 2-nya. Mungkin Fael sudah lupa, tapi
sifat Fael yang mudah bergaul itu sangat membantu.
***
“Josua,
titip Fael ya!”
“Oke
kak!”
“Fael,
kakak tinggal dulu ya. Oya,” Aku memandang seisi kelas Fael. “Kalian bantu jaga
Fale ya. Pulang sekolah kakak kasih permen,”
“Hore!”
sorak mereka. Aku tersenyum, mengacak rambut Fael, lalu melangkah keluar kelas
adikku.
Aku
berjalan dengan ringan. Ah, betapa segarnya udara! Matahari pun tampak sangat
cantik hari ini. Bunga-bunga berseri menyapaku. Masalah selesai!
***
CITT!
BRAK!
Mobil
berbanting setir 90 derajat. Aw! Aku segera melindungi kepala Fael dan
kepalaku dengan tangan.
Beberapa
detik kemudian, mata kami yang terkatup ketakutan terbuka.
*
Fael
POV
“Kak?”
“Ya?”
Ah!
Rasanya sesuatu gelap itu terbuka menjadi terang!
“Aku
inget semua!” ucapku girang.
*
Lysta
POV
Mataku
membulat sempurna, menatap mata berbinarnya. “Sungguh?”
“Ya!
Ya!” jawabnya semangat.”Hore!!!”
Supir
kami, Mang Ujang, menoleh ke belakang. “Aduh non, den, maap ya…”
“Gapapa
mang!” potongku. “Karena mamang, Fael inget semua!” kataku riang mengacak
rambut adikku, seraya mengembangkan senyum.
Senyum
bahagia.
THE END
NOTE:
Halo semua! Karena lagi malas untuk mengetik lanjutan Silverista, kami memutuskan untuk mengetik cerpen non-part. Kali ini untuk anak-anak.
Terimakasih ya, sudah membaca. Harap komentar, kritik dan saran. Terimakasih.
Halo semua! Karena lagi malas untuk mengetik lanjutan Silverista, kami memutuskan untuk mengetik cerpen non-part. Kali ini untuk anak-anak.
Terimakasih ya, sudah membaca. Harap komentar, kritik dan saran. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari... ^_^