Silverista |
Memandang pintu kelas sebelum masuk. Kebiasaan itu dilakoninya sejak masuk sekolahnya ini yang rata-rata bersiswa orang-orang menengah keatas. Ia menatap tulisan di atas pintu kelasnya. X-2.
Verist
berjalan memasuki kelasnya. Mata siswa satu kelas langsung terarah ke dirinya.
Yang tadi bergosip, langsung memandang Verist. Yang tadinya berlari-larian,
berhenti lalu menatap Verist. Singkatnya, seluruh murid seolah diatur mesin
sehingga menatap Verist. Dengan tatapan heran, tentu saja.
Tetapi
beberapa detik kemudian, mereka kembali menyibukkan diri dengan aktifitas
masing-masing. Verist tersenyum masam, dan tanpa basa-basi ia menyeret kakinya
menuju kursi yang telah disewanya sampai dua tahun kedepan, yang terletak di
sebelah sahabatnya.
“Verist?
Lo kenapa?” Tanya Dynda, kawan seperjuangannya dengan tampang super-heran.
“Emang gue
kenapa?” yang ditanya balik bertanya.
“Lo aneh
banget! Lo jalan dengan amat sangat benar-benar malas-malasan.” ucap Dynda
mulai berlebihan.
“Lebay
banget!” cibir Verist sinis. Sepertinya ia tidak suka jika penyakit lama best friend-nya mulai kambuh.
“Ngomong-ngomong,
Lo udah tau gosip terbaru?” Dynda mengabaikan cibiran Verist.
“Gak dan
gue gak mau tau.” Verist menatap Dynda tajam. “Gue gak suka gosip.”
“Oke, oke.
Ini bukan gossip. Ini realitas.” Dynda berusaha menarik perhatian Verist agar
mau mendengarkan kabar yang dibawanya.
“Oke,
apa?”
Dynda
tersenyum. “Akan, bakal, hendak…”
“Mulai
lagi!” gertak Verist kesal. Mood Verist
yang memang sudah bad pun tambah
buruk. Sohibnya satu itu hanya nyengir.
“Oke,
sori. Bakal ada murid baru.” Ujar Dynda. “Gosipnya…”
Dan Dynda
segera menyadari kesalahannya, sebab ia melihat tatapan setajam pisau terhunus
kearahnya. “Kabarnya…”
Sama saja!
Dengus Verist kesal dan kembali melemparkan pandangan membunuh pada Dynda.
“Oke,
oke,” suara Dynda bergetar karena ngeri melihat tatapan Verist. “Dia cowok,
ganteng, pinter.”
Mata
Verist berputar, lalu memandang sahabatnya. “Terus? Gue harus ngomong WOW
gitu?”
“Ih,
Verist. Kok lo nggak tertarik sih?”
“Kenapa
juga gue harus tertarik sama yang namanya ‘gosip’, ‘katanya’, ‘kabarnya’. Itu
Cuma ‘katanya’, kan? Lo udah tau kebenarannya?”
Dynda
tersenyum. Tak ingin kalah telak, ia menbalas, “Dia sepupu gue.”
Diluar dugaan Dynda, alih-alih terkejut Verist berkata,"Masalah gitu buat gue?"
"Oke, oke," Dynda mengalah. "Emang gak masalah. Cuma aja..."
"Udah ah! Gue capek nih,"
"Oya Ver, tau ga, dia masuk kelas kita lho,"
Mata coklat Verist memandang tajam Dynda. Yang dipandang meringis. "Sori, kelewatan,"
Verist mendengus, dan kembali menekuni bukunya.
Diluar dugaan Dynda, alih-alih terkejut Verist berkata,"Masalah gitu buat gue?"
"Oke, oke," Dynda mengalah. "Emang gak masalah. Cuma aja..."
"Udah ah! Gue capek nih,"
"Oya Ver, tau ga, dia masuk kelas kita lho,"
Mata coklat Verist memandang tajam Dynda. Yang dipandang meringis. "Sori, kelewatan,"
Verist mendengus, dan kembali menekuni bukunya.
***
Bunyi hak tinggi
yang bersentuhan dengan lantai menentramkan suasana ribut. Apalagi ketika
melihat Bu Desi memasuki kelas dengan mata tajamnya yang mengitari kelas. Pasar
dadakan langsung jadi kuburan.
Di belakang Bu
Desi, seorang siswa mengekor. Cewek satu kelas langsung memekik melihat
ketampanan sang siswa baru. Dan langsung terdiam mendengar hak merah Bu Desi
beradu dengan lantai. Verist hanya berpikir, salah apakah dia sampai mendapat
wali kelas semenyeramkan itu. Hii...
“Anak-anak,” Bu
Desi mulai membuka mulutnya. Ia geleng-geleng kepala melihat anak didiknya
seramai pasar. Tepatnya, ia geleng-geleng kepala karena heran, apakah sebegitu
menakutkannya ia. Rambut keriting hitamnya yang dikuncir kuda ikut bergoyang.
“Kalian kedatangan teman baru.”
Verist kembali
berpikir,tak adakah kata lain yang dapat dikeluarkan ketika ada murid baru? Dan
otaknya langsung beku ketika memperadukan matanya dengan tatapan Bu Desi.
“Silahkan, Rafa,”
Bu Desi mundur satu langkah. Yang dipersilahkan menarik napas. “Saya Rafael
Arvito, biasa dipanggil Rafa. Pindahan Bandung. Pindah karena pekerjaan ayah
saya,” Rafa terdiam. Tepatnya, ia bingung harus bicara apa lagi. “Mohon
bantuannya.”
“Ya, Rafa.
Silahkan duduk di sana,” Bu Desi menunjuk bangku di kiri Verist.
Satu kelas semakin
tegang karena pelajaran akan segera dimulai. Sebab, rata-rata banyak yang belum
mengerjakan PR!
“Siapa yang belum
kerjakan PR, kecuali Rafa?” Dua per tiga kelas mengangkat tangannya, lebih
benarnya karena suara guru itu sudah membuat mereka merinding.
“Apa?! Sekarang
juga kalian yang tidak kerjakan PR keluar!!!”
Hebatnya, dengan
kompak mereka berjalan keluar kelas. Lebih pasnya, mereka takut hukuman mereka
diperbanyak.
Bu Desi hanya
dapat menggelengkan kepalanya, melihat dari ke 35 siswa -maksudnya 36, karna
ditambah Rafa- tinggal 12 siswa yang masih ada di kelas. Sisanya... memalukan,
pikir Bu Desi.
***
“Ok, jadi jika
amoniak dicampur dengan pemutih...”
Verist menatap
buku sambil mendengar penjelasan si guru galak. Ia tak begitu suka Biologi.
Sudah tidak suka, gurunya.....
Ia tidak tega
melanjutkan pikirannya. Untung ia sempat mengerjakan PR nya di mobil saat
berangkat tadi. Jadi, ia tak ‘ter’hukum.
“Maka, jika kamu
menambahkan cairan berwarna biru...” suara gurunya yang ditekankan menyadarkan
Verist dari pembatinannya. Verist mendongak menatap Bu Desi yang
ternyata..sedang..memandangnya! dengan tajam. Sepertinya guru itu punya indra
keenam, pikirnya. Sebenarnya bukan itu. Tapi tadi si guru melihat Verist
melamun sambil bertopang dagu. Verist meringis.
“Sesillia Verista,
mengapa kamu melamun di pelajaran saya?”
Aura kuburan (?)
menyebar ke setiap sudut kelas. Tiap siswa, baik yang ada di dalam maupun di
luar membeku dalam posisi masing-masing.
Terlebih Verist.
Ia sudah seperti patung hidup dalam posisinya yang menunduk dan mengatupkan
tangannya, seolah berdoa. Otaknya sudah membeku dan ia serasa tak dapat
berpikir. Batinnya sudah terkunci rasanya. Sisa hatinya saja yang belum kaku.
Maka dengan hati itu ia berdoa, Tuhan tolong Tuhan... Please... persis anak
kecil jalanan yang memelas minta makan.
“Verista!”
Bentakan itu
semakin mengkakukan tubuhnya seolah mati rasa.
“M-maaf Bu-u,”
“Maaf maaf! Kamu
pikir dengan begitu bisa menggantikan ilmu yang tidak kamu serap?!” bentak Bu
Desi lagi.
“Ma-maaf Bu, tadi
saya cuma...”
“Cuma apa lagi!
Hah? Dasar kamu itu!!!”
***
Verist
menghela nafasnya. “Astaga, gue udah gila Dyn!” keluhnya pada sahabatnya.
“Nah, udah
tau Bu Desi galak, kok lo ngelamun?”
Ingin
sekali Verist menjitak kepala sahabatnya, tetapi ditahannya. “Gue itu bukan
sengaja ngelamun, tau!”
“Lah,
trus? Lo nyambil topang dagu dan ngeliat kosong ke papan tulis, itu apa
namanya?”
“Hah? Gue
topang dagu?” Verist terkejut.
“Jadi lo
ga nyadar?”
Verist
menggeleng. “Kirain Bu Desi punya indra keenam.”
“Ngaco!”
“Hei,
boleh gue duduk di sini? Tempat lain udah penuh.” Sapa seseorang, membuat
Verist dan Dynda menoleh.
“Oh, lo
Raf. Boleh aja,” jawab sepupu dari seseorang itu.
Beberapa
cewek perfect sekolah menghampiri
meja mereka. Sudah pasti kelima cewek itu naksir sama Rafa. Mereka malah
mengusir Dynda yang sebenarnya sepupu Rafa.
“Woy, Dyn,
pergi lo!”
“Tunggu,”
tahan Rafa sebelum sang sepupu ingin protes. “Kenapa lo ngusir Dynda?”
“Dia tuh
ga pantes makan di sini,” ucap salah satu dari mereka, membuat Rafa sewot.
“Enak
aja!” bentak Rafa. “Dia sepupu gue!”
Wajah kelima
cewek itu langsung merah. “Sori,”
“Nggak! Lo
pada minta maaf ke Dynda, SE-KA-RANG!”
Akhirnya,
dengan terpaksa mereka meminta maaf di bawah tatapan tajam Rafa. Tujuannya sih
untuk mencari perhatian pada Rafa. Tapi setelah itu Rafa menyuekkan kelima gadis nyebelin itu.
Mungkin kalian bertanya, kenapa mereka tak mengusir Verist?
Mereka tak
berani mengusir Verist. Karna, Verist ialah kembang SMA. Fansnya banyak. Sampe
berani ngusir, bakal dikeroyok. Begitu pemahaman mereka.
“Kalian
berdua lagi ngapain?” Tanya Rafa.
“Gosip!”
jawab Dynda asal. Verist memutar kedua bola matanya, menatap Dynda.
“Jadi tadi
itu gosip?”
“Eh, engga
kok Ver! Sumpah tadi bukan gosip. Maksud gue…” Dynda tambah panik melihat tatapan Verist.”…abis ini
gue mau ngomongin gosip!”
Dynda
bernafas lega melihat Verist mengalihkan pandangan dan perhatiannya ke mangkuk
baksonya. Ia menyendok kuah bakso dan menyeruputnya. Suasana sunyi sesaat.
“Abis ini
pelajaran apa?” Tanya rafa memecah keheningan.
“Matematika,”
sahut Dynda.
“Ooh… Ada
PR ngga?”
“Astaga
mampus gue… PR Matematika belom gue bikin!” Verist menepuk dahinya. “Dyn…
temenin gue balik ke kelas… Lo mau ngasih gue contekan kan? Please Dyn… Lo kan
sohib gue yang paling baik dan cantik. Ayo,” Verist panik.
“Oke,
tenang aja,” Dynda berdiri. “Raf, kita duluan.”
Rafa
memandang sepupunya dan sahabat sepupunya yang berjalan sambil sesekali berlari
kecil. Tanpa sadar Rafa tersenyum samar.
***
Rafa
memasuki kelas. Ia melihat Verist menyalin PR sepupunya. Lagi-lagi ia tersenyum
samar.
“Dyn, ini
apa?”
“Lo ga
kebaca apa tulisan gue? Bilangan cacah!”
“Ga,
tulisan lo ancur!” ucap Verist asal, membuat Dynda memelototinya.
“Dasar!
Udah gue kasih contekan juga!” dengus Dynda.
Verist segera menyadari aura perang dari
diri sahabatnya. “Eh sori Dynda-ku yang paling baik, cantik, tulisannya paling
rapi,” Verist menarik kata-katanya sambil nyengir. “Nah, udah! Thanks ya Dynda
yang terimut tercantik terbaik…”
“Nah kalo
dibantu baru muji!” potong Dynda sewot.
“He he…”
Rafa
memandangi kedua sahabat yang bertengkar kecil itu. Ck ck ck, pikirnya. Tu cewek
cantik banget, batinnya menatap Verist.
“Ehem!”
Rafa berdehem, membuat Verist dan Dynda menoleh. Rafa pura-pura membaca
majalah.
“Raf!”
panggil Verist.
“Kenapa?” tanya Rafa.
“Majalah
lo kebalik,” ucap Verist to the point. Dynda terkikik melihat kebodohan
sepupunya. Rafa hanya bisa menggaruk-garuk kepala menahan malu.
To Be Continued
NOTE:
Halo, numpang basa-basi dulu ya. Di blog yang lama, cerita SILVERISTA ini ada 5 bagian dan belum dipost endingnya. Tapi disini, akan jadi 2 bagian saja.
Oke, sekian dulu. Tunggu saja kelanjutannya. Terimakasih telah membaca.Please comment, terimakasih.
Halo, numpang basa-basi dulu ya. Di blog yang lama, cerita SILVERISTA ini ada 5 bagian dan belum dipost endingnya. Tapi disini, akan jadi 2 bagian saja.
Oke, sekian dulu. Tunggu saja kelanjutannya. Terimakasih telah membaca.Please comment, terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari... ^_^